Saat Diri Sendiri Berjarak Dengan Korupsi
Manusia mana coba yang tidak tergiur dengan uang?
Begitulah sepenggal kalimat yang saya dengar dari seorang lelaki tua di sebuah warung kopi pinggir jalan. Memang benar rasanya kita menyetujui kalimat tersebut. Tak muluk-muluk kalimat tersebut keluar dari kata-kata seorang pekerja lepas yang masih kesulitan mencari pekerjaan tetap.
Begitulah sepenggal kalimat yang saya dengar dari seorang lelaki tua di sebuah warung kopi pinggir jalan. Memang benar rasanya kita menyetujui kalimat tersebut. Tak muluk-muluk kalimat tersebut keluar dari kata-kata seorang pekerja lepas yang masih kesulitan mencari pekerjaan tetap.
Kita menyadari bahwasanya uang terkadang
menjadi segalanya. Akibat tuntutan zaman yang semakin keras yang segala hal
kadang harus berakhir dengan uang.
Sebagai manusia normal tentu saja saya tidak
munafik soal uang, saya juga butuh uang.
Meskipun saya mahasiswa, saya juga butuh uang untuk kehidupan yang sejahtera
selama hidup di perantauan yang tidak jauh-jauh sekali dari kampung halaman
saya sendiri.
Soal korupsi atau penyelundupan uang juga
bukan hal yang baru lagi, saya pernah mengalami itu di masa-masa sekolah dulu. Bayangkan
saja, sejak belum begitu mengenal apa-apa saya sudah merasa uang telah menjadi
kebutuhan yang pokok. Bagaimana dengan yang sudah mengerti dengan berbagai
masalah tentang sulitnya mencari uang?
Meski korupsi memiliki makna yang luas, tentu
saja korupsi dalam mengenai uang lebih populer ketimbang masalah lain.
Kita mencari uang yang halal, dan oknum tidak, itu masalahnya.
Jika ditanya “bagaimana langkah-langkah
mengatasinya?”
Seperti jawaban orang-orang yang sudah
kehabisan akal tentu saja saya jawab “Ya harus dengan kesadaran masing-masing pribadi,
bahwasanya itu adalah hal yang tidak baik”
Tapi memang benar begitu adanya, itu adalah
jawaban atau langkah yang sebetulnya tidak buruk-buruk sekali.
Kesadaran
Tapi jelas saja butuh waktu untuk itu, butuh
adanya penyesalan dengan merasakan yang namanya sanksi pribadi. Butuh merasakan juga nikmatnya nafsu hedonis. Agar ya
itu tadi, merespon munculnya kesadaran bahwasanya itu memang bukan hal baik.
Kalau sejatinya langkah itu tidak sama sekali
membantu, coba kita lakukan hal yang saya pikir sederhana. Jauhi segala hal
yang berurusan dengan uang. Hiduplah dengan tenang dengan merasakan bahwa uang
bukanlah segalanya. Klise memang,
tapi ya begitulah. Langkah pribadi yang patut dilakukan untuk mencegah hal yang
berbau korupsi ataupun nepotisme. Seperti yang saya bilang dari awal, manusia mana coba yang tidak tergiur dengan
uang?
Korupsi bukan saja dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki kesempatan
untuk itu, tapi juga bisa dilakukan oleh orang-orang kecil seperti kita. Hanya saja
tidak begitu besar pengaruhnya, sehingga tidak terpublikasi dan diketahui oleh
para netizen yang cukup liar komentarnya. Tapi ini tetaplah korupsi. Sekali lagi,
ini tetaplah korupsi. Bukan sama sekali hal yang baik, sehingga langkah apapun
yang kita berikan memang seharusnya berakhir di naluri masing-masing pribadi.
Jelas, kesadaran memang hal penting untuk mencegah
terjadinya korupsi. Tentu saja ditolong dengan pengetahuan tentang agama yang
bukan asal-asalan. Karena begitu pentingnya kesadaran yang dimiliki juga akibat
dari mengabaikan hal-hal yang sepele lainnya.
Mungkin saja begini, langkah pribadi untuk
mencegah korupsi yang memang seharusnya benar dilakukan adalah dengan belajar,
belajar menjadi lebih baik. Dan belajar melakukan atau mencontoh karakter
pribadi seseorang yang mungkin saja bagi beberapa orang sangat tidak percaya
bisa dapat melakukannya. Yaitu empat sifat Rasul Allah SWT.
Siddiq, Amanah, Tablig, dan Fathonah.
Bukan apa-apa, meski terdengar lucu buat
sebagian orang sifat itu memang sudah mewakili segala hal yang baik dalam
kehidupan. Jika saja saya boleh berandai-andai tentang itu mungkin tak ada lagi
yang namanya korupsi ataupun nepotisme. Tapi tentu saja tak adil rasanya saya
berpikir seperti itu tanpa melihat adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang
bisa saja terjadi.
Jadi bahwasanya langkah yang baik agar
mencegah korupsi sejak dini yaitu menerapkan sebuah revolusi mental seperti
yang orang-orang agungkan belakangan ini dalam menerapkan suatu bangsa yang
baik. Dan tentu saja itu juga butuh waktu.
Tapi jelas, ke empat hal tadi bisa menjadi langkah
yang baik untuk mencegah suatu korupsi. Memang, kita bukanlah seorang Rasul. Tapi
bukan berarti karena itu sifat seorang Rasul yang memang ma’sum lalu kita anggap tidak bisa mencontoh itu. Jelas saja bisa,
ya itu tadi, dengan belajar. Belajar menjadi yang lebih-lebih hebat lagi tanpa
mencoba mencurangi orang lain atau merugikan orang lain.
Ini Tanah Melayu Bung!
Ayo sama-sama kita perbaiki dan mencegah
segala hal yang berbau korupsi dan nepotisme dari diri sendiri. Itu sama sekali
bukan lelucon yang akan kalian pertanggung jawabkan saat di akhirat sana. Karena
jelas, korupsi bukanlah hal yang paling jantan yang saya tahu.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru
Comments
Post a Comment