Menghantui Ketakutan


Jam menunjukan pukul 02:13 pagi, dan saya masih dicekik dengan deadline dan pikiran yang hampir membunuh setengahnya dari tubuh saya.

Salah satunya Sarinah

Hampir satu bulan pikiran saya soal Sarinah terus menghantui. Masih ingat tahun lalu pada bulan Januari telah terjadi tragedi teror Bom Sarinah yang terkenal itu. Bahkan seminggu penuh memenuhi headline setiap media. Lalu hubungannya apa saya membahas Sarinah ?

Bukan apa-apa, hampir sebulan ini Sarinah menjadi kawasan dimana saya menikmati kota Jakarta selepas lelah dengan urusan internship di kantor. Karena Sarinah menjadi lokasi belanja dan juga ruang menikmati waktu luang kelas menengah urban, termasuk saya sendiri.

Engga salah kan saya ingin merasakan bagaimana rasa takut dan aware para korban di hari terjadinya terror ? Saya penasaran soal itu, hingga sampai titik mencari tahu dan bertanya dengan orang-orang yang berada disana saat terror.

Saya membayangkan ketika saya yang saat itu sedang memesan satu cup kopi Starbucks dan tiba-tiba ledakan terjadi di luar dan melempar tubuh saya jauh dan membentur dinding. telinga saya berdengung keras. dan leher saya hampir patah sambil memegang selembar struk tertulis Starbucks.

Atau ketika saya sedang menyeberang dari Sarinah ke arah Bawaslu melewati pos Polisi dan tiba saja ledakan terjadi disebelah menghancurkan setengah dari tubuh saya hingga mengeluarkan darah yang menetes deras di aspal.

Atau mungkin sayalah yang tertembak disaat kerumunan massa melihat korban ledakan dan tanpa sadar dibelakang mereka dua teroris sedang bersiap mengeluarkan senjata dan menembak dua orang polisi serta berikutnya menembak beruntun kearah massa.

Bagaimana jadinya jika saya berada disana saat itu?

Hingga saya menemukan sebuah cerita

Hari itu, 14 Januari 2016, Jakarta seperti bergerak amat lambat. Sepertinya khusus di hari itu, waktu tidak sebatas 24 jam. Hari itu, Jakarta seperti tidak kenal sudah. Media terus memberitakan seharian, orang-orang ramai membincangkan; hampir tidak ada yang (tidak bisa) diam.

Hari itu juga, kita seperti kembali membaca sajak W.S. Rendra : Bulan Kota Jakarta.

“Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya

Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
Bocah pucat tanpa mainan

Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!”

Sebuah sajak yang ditulis Rendra pada tahun 1950an itu, rasa-rasanya belum berubah sama sekali. Terlebih di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016.

Sebaiknya saya segera menjadi taat dan mengingat kematian

kalau sempat

@Harisyavin
Sarinah, Jakarta
11/08/2017

Comments

Popular posts from this blog

Daya Tarik Pasar Bawah Pekanbaru

Ketika Dunia Digital Membuat Candu

Tinggal Satu