Hujan di Bulan Juni
Hujan pertama di bulan Juni ini membuat
beberapa tubuh ingin sekali merebahkan diri di dekapan orang-orang yang sangat dicintainya. Entah mengapa, aku
tak merasakan itu. Tubuhku rasanya terbiasa akan hal yang tak bisa kujelaskan
lagi. Aku tak lagi rindu siapa-siapa, tak butuh lagi tawamu yang begitu renyah.
Aku kalut dengan penolakanmu semalam, aku rusuh dengan kata maafmu yang
membuatku lumpuh. aku terenyuh dengan
semua yang kudengar. Lalu aku patah, dan sisa hariku rusak karenamu. Meskipun kau
hanya menolak ajakan kecilku, aku yakin itu adalah awal aku akan ditolak
berkali-kali. Aku mengerti dengan sikapmu yang tak acuh, yang kadang menghindari
tatap mata yang tiba-tiba bertemu. Aku juga tak menghindari untuk menyalahkan
diri, aku salah. Seenaknya mengajakmu tiba-tiba tanpa ada pendekatan pasti.
Kadang aku tak mengerti padamu, sejak
awal kau tampak seperti memberi sesuatu padaku, sesuatu rasa, lalu kau coba
memberiku pengharapan. Saat itu aku hanya mencoba menjaga diri dari rasa itu,
tak ingin terlalu jauh, tak ingin juga terlalu cepat. Aku mengulur waktu.
Hingga waktunya aku telah terbang tinggi
seolah menganggapmu bidadari, alhasil aku yakin padamu untuk benar-benar
memantapkan hati. Seolah aku yakin akan hal itu, aku siap memulai segala apa
yang telah kupersiapkan untukmu. Bayang-bayangmu sudah mulai menari indah dan juga
terdengar merdu kau menyuarakan sajak hati telah memenuhi isi kepala. Tetapi anganku
terlalu tinggi, aku jatuh tak menentu. Bukan seperti jatuh cinta yang
orang-orang banggakan kepada kekasihnya. Aku jatuh yang sebenar-benarnya jatuh.
Aku mengerti satu hal ..
“Cinta
saja sebenarnya cukup, tanpa jatuh, sebab jatuh akan membuatmu patah”
Perihal hati, aku merelakannya kepada
Tuhan. Dan ketika kamu pergi, aku tahu. Tuhan sedang menyayangiku. Aku tak lagi
mengharapkan banyak padamu. Tatap mata kita yang selalu bertemu tak lagi
menjadi hal yang selalu kutunggu. Padahal sebelumnya matamu selalu terpikir
olehku.
Dan
aku mulai memejamkan mata agar bisa melihatmu jauh lebih dekat. Ternyata tak
sejauh itu. Dan tak sedekat ini.
Terdengar
indah memang, hanya saja aku terlalu lama memejam mata. Hingga kau hilang dan
pergi entah kemana.
Barangkali aku sadar
Hati
pernah menyelamatkan diri dari hati yang tak tepat, dengan cara mematahkan
dirinya sendiri.
Padamu, aku benar-benar patah.
Ini tulisan haris?
ReplyDeleteKeren karya-karyanya :)
Diluar dugaan :)
Terimakasih Wina, dan terimakasih lagi sudah membaca :)
Delete