Malam Adha
Kemarin
Sayup-sayup takbir
berkumandang sudah mulai terdengar di sepanjang perjalananku pulang. Ya,
padahal sebelum itu saya berpikir lama untuk memutuskan apakah saya pulang atau
tidak. Pada awalnya saya memutuskan untuk tak pulang karena ada sesuatu yang
mepet sekali jika saja aku pulang. Namun setelah berpikir-pikir lagi, aku
putuskan saja untuk pulang. Dalam perjalanan pulang saya tak merasa ada sesuatu
hal yang besar buat kusambangi. Sekalipun itu malam takbir. Tak begitu
terburu-buru mengejar malam itu. Entah mengapa. Atau mungkin saja nanti selepas
sampai rumah saya akan rebahan dan memilih untuk tidur daripada berkeliling
buat takbir bersama. Saya pikir itu menyenangkan. Dan seharusnya kalian
tahu. Itu masih saya pikir.
Hari raya lebaran haji kali
ini tetap sama dari hari-hari raya sebelumnya. Aku tak merasakan
sebenar-benarnya hari besar itu. Entah apa yang salah. Apa aku apatis? Apa aku
tak punya perasaan? Apa aku tak punya iman? Dan masih banyak
pertanyaan-pertanyaan konyol tentang itu. Tiap kali datang malam takbir yang
seharusnya ramai, bersuka cita menyambut hari yang besar itu alih-alih saya
malah merasakan arti sepi yang
sebenarnya. Tak ngerti mengapa bisa begitu. Ini perasaan yang beda saat umur
masih kecil-kecilnya. Yang saat itu merasa bahagia jika saja ada hari besar
seperti ini. Tapi ini tidak sama sekali. Bahagia saja aku tak tahu. Atau memang
aku tak mau mencari tahu.
Bahagiaku rumit..
Memang, dua tahun
belakangan ini selalu saja begini, selepas pulang dari tualang panjang sejenak
di kota seberang. Saya memilih buat tidur dan tak memikirkan buat merayakan
takbiran bersama. Saya lebih senang bersantai di kursi rumah dengan kopi dan
menikmati buku-buku yang belum sempat saya selesaikan daripada melakukan sesuatu
yang biasa orang-orang lakukan bertakbir keliling. Saya kurang menyenangi
suasana itu. Melihat sepasang muda-mudi berkeliling saja tak membuat ku iri.
Aku tak iri dengan cerita bahagia mereka dengan pasangannya melakukan takbir
bersama. Atau membaca tulisan orang-orang di media sosial yang senang karena
sudah ditemani takbiran. Saya tak iri dengan itu. Mencium harum masakan ibu di rumah saja sudah
membuat hati lega. Tak perlu ikut-ikutan dengan kata “kekinian” untuk
menyenangkan batin.
Mungkin masalah umur, apa
aku terlalu cepat menua? Yang kurang menyenangi keramaian? Yang tak begitu
menyenangi masa-masa bahagianya bertakbir bersama? Atau aku sudah melewati fase
itu.
Jawabku mudah..
Aku sudah pernah melakukan
itu. Dan aku tak lagi penasaran. Aku pernah melakukan takbir. Aku pernah
bahagia di malam takbir. Aku pernah menangis haru di malam takbir. Aku pernah
semuanya. Kali ini aku hanya mengingat itu. Aku sudah pernah. Dan tak perlulah
aku melakukan berulang lagi. Ataupun jika nanti kulakukan, aku sudah bukan
orang yang sama lagi.
Karena sesuatu yang
seperti ini bukan rutinitas ku, yang jika sudah pernah mengapa aku lakukan
lagi? Ini bukan seperti makan, tidur, mandi dan sebagainya. Yang kata pernah
tak perlu dipakai untuk menghindari.
Alhasil, malam takbir ini
belum begitu mengesankanku.
Sejujurnya, memang saya
belum paham sama diri sendiri.
Dan, belum mau mencari
paham itu.
@Harisyavin
Comments
Post a Comment