Rutinitas #MelawanAsap

Sore kemarin, tepat pada tanggal 14 September kemarin terjadi hujan yang melanda kota ini, Pekanbaru. itulah hujan yang membuat beberapa orang di kota ini bersyukur. Akhirnya turun juga hujan setelah berhari-hari rutinitas kami hanya menutup hidung dan wajah kami dengan masker untuk menghindari asap yang begitu pekat ini. Saat itu kami bisa bernafas lega mencium bau hujan, bau petrichor dari tanah basah. Menenangkan hati. Begitulah yang kami rasakan untuk beberapa waktu. Selang beberapa jam kemudian asap kembali pelan-pelan memenuhi isi kota ini lagi. Hari-hari berat kami pun akan dimulai lagi. Sebelum hujan turun kabut asap sangat tebal memenuhi seluruh kota. Semua kampus dan sekolah kembali diliburkan. Percayalah jika kalian melihat ini kalian tak akan kuat berada di Pekanbaru berlama-lama. Jarak pandang hanya sekitar 50-100 meter. Dengan itu saja sudah cukup menyesakkan dada, tanpa disadari mata perih dan mengeluarkan air mata. Tak ada yang kami tangisi sebenarnya, air  mata ini pelan-pelan memaksa keluar akibat asap itu. Kami tak mungkin tangisi hal ini tiap hari, percuma. Sebab, asap yang tiap hari kami hirup sudah cukup menjelaskan bahwa paru-paru kami butuh udara baru. Atau bila boleh kami butuh tempat baru.

Tapi kami disini masih kuat, meski tak semua. Meski hanya sekitar 20.532 jiwa yang terkena ISPA. Meski hanya sebanyak 1.878 jiwa penderita iritasi kulit. Meski hanya 1.317 jiwa yang terkena iritasi mata. Meski hanya 1310 yang terkena asma dan pneumenia. Dan meski masih banyak lagi korban-korban baru yang bermunculan yang entah seberapa.

Apa? Hanya katamu? Dimana akal sehatmu? Itu yang kau bilang masih kuat?” timbul pertanyaan-pertanyaan terkait mengapa sebagian dari kami masih merasa kuat untuk mengaku kuat.

Dan salah satunya masih kuat untuk tak terjamah oleh pemerintah. Apa mesti kami berkoar-koar di sosial media? Dengan menulis tagar #MelawanAsap, lalu protes di depan kantor pemerintah baru pemerintah mulai bergerak. Saya mengerti pemerintah tak hanya mengurusi hal-hal yang seperti ini, yang tak menguntungkan buat negara. Tapi kami pantas menerima bantuan untuk mengurangi rutinitas kami yang itu melulu tentang asap. Kami tak begitu butuh pidato dari sang penguasa tentang asap ini. Ini sudah kami dengar sejak penguasa tahun lalu. Kami hanya butuh bantuan yang efektif dan realistis. Yang kami senyumin ketika bencana yang disebabkan oleh orang-orang yang tak punya akal mulai berkurang di tanah Melayu ini.

Sebenarnya saya sudah sempat menuliskan tentang kabut asap ini di blog saya, tapi ya begitulah. Tak banyak yang merespon baik. Mereka belum mengerti yang kami alami disini. Tapi dengan rutinitas yang kami alami sekarang sudah cukup menjelaskan bahwa hari-hari kami sangat dipenuhi dengan kabut tebal. Begitulah kerja sehari-hari kami, berpergian dengan masker dibalut diwajah. Kemana-mana sambil mengeluhkan pekatnya asap. Dan selalu berharap hujan di setiap kami berdoa.

Mungkin jika kalian buka tagar #Melawanasap di sosial media akan pelan-pelan membuat kalian mengerti, inilah rutinitas di kota ini.

Dan inilah rumah kami, Pekanbaru.

#30HariKotakuBercerita


@Harisyavin

Comments

Popular posts from this blog

Daya Tarik Pasar Bawah Pekanbaru

Ketika Dunia Digital Membuat Candu

Tinggal Satu