Kenapa Kau Bertanya ?

            Ketika menulis ini aku sedang menikmati secangkir kopi latte dengan dua bungkus kecil gula. Sambil menunggu malam meninggi, aku melihat ke sekeliling cafe. Beberapa pasangan yang berpacaran, dua barista yang sedang sibuk meracik kopi, dan sekumpulan perempuan-perempuan yang sedang bergosip dengan suara tawa yang lebih mengganggu daripada pengamen jalanan yang bernyanyi asal-asalan.
            Sembari  menikmati beberapa tegukan kecil kopi yang kupesan, aku menatap deretan tombol keyboard yang berwarna hitam dengan perasaan yang aneh. Pikiranku menerawang ...
***
Pada suatu malam, kurang lebih pukul dua belas lewat dua puluh, aku baru saja tiba di rumah. Sebelumnya aku baru saja bertemu dan berkumpul sambil menikmati beberapa cangkir kopi dengan beberapa teman di cafe yang sama dengan tempatku menulis saat ini. Dengan pikiran yang berkecamuk, aku mencoba untuk tetap mengontrol diri agar terlihat baik-baik saja agar topik obrolan kami tidak terganggu.

Setelah memasukkan motor ke dalam pagar rumah, aku tak lantas membuka pintu kamar dan melempar diri ke permukaan kasur yang empuk dan segera tidur. Aku memilih untuk merebahkan diri di ruang tamu dengan keadaan gelap gulita. Isi kepalaku sedang ribut sehingga terciptalah ini

“Aku? Tidak. Aku hanya kebetulan ada  disaat yang tepat. Untuk ada bagimu di setiap saat? Ampuniku, Cantik.  Kupikir bukan aku yang kamu cari.”

Setelah kalimat itu tercipta, tiba-tiba timbullah pertanyaan ini.

“bagaimana jika kau mencintainya, namun kau ragu dengan dirimu sendiri?

“bagaimana jika kau mencintainya, namun kau takut cintamu diabaikan?

“bagaimana jika kau mencintainya, namun kau berpikir nantinya hanya akan berakhir sia-sia?

Bagaimana?

Kalimat tanya itu seolah tak habis memenuhi isi kepala dan pikiran yang sudah lelah dan ingin segera tidur. Aku mencoba untuk mencerna semua jawaban yang tepat untuk semua pertanyaan itu. Namun aku malah balik bertanya ...

Jika kau memang mencintainya kenapa kau bertanya?

Sebentar

Mungkin karena kita tak ingin membuang waktu untuk mencintai orang yang salah atau dalam keadaan yang salah. Mungkin karena kita tak ingin patah hati lagi. Mungkin karena kita melihat diri kita sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa? Atau mungkin kita merasa jatuh cinta pada seseorang setelah sekian lama mati rasa?

Aku rasa, semua pertanyaan itu hanya terjawab dengan keyakinan yang ada dalam hati kita sendiri. Kita hanya harus yakin dengan perasaan kita sendiri. Kita hanya harus berani bertaruh mengambil resiko jika harapan itu nantinya gagal. Dan yang terpenting adalah, kita harus berani memperjuangkannya. Mau ataupun tidak, itu sudah keharusan untuk cinta yang pasti.

Orang yang jatuh cinta sejatinya tidak memiliki apapun selain rasa cinta itu sendiri. Satu-satunya orang yang mengerti keadaan kita adalah diri kita sendiri. Kita hanya harus meyakini itu. Jangan berjudi dengan harapan-harapan dan prediksi konyol yang tercipta dari rasa penasaran itu. Jangan merendahkan diri dengan membandingkan diri dengan orang-orang lain yang juga mencintainya. Lawan rasa takut dan semua trauma itu

Mencintai seseorang dengan sebaik-baiknya bukanlah perkara mudah. Karena kita harus berkali-kali untuk berhenti menyerah.

Jika pada akhirnya memilih menyerah, entah sebelum atau sesudah mencoba. Siapkah kamu tetap mencintainya tanpa harus mendengar suara tawanya, melihat senyumnya, menggenggam tangannya, mengecup keningnya dan memeluk tubuhnya?

Siapkah kamu melihat dirinya dibahagiakan orang lain yang bukan kamu? Siapkah kamu mencintainya hanya dengan berdoa?

Silahkan saja tanya pada dirimu sendiri
***
Aku beranjak dari tempat duduk dan beralih ke meja kasir, lalu kubayar semua pesananku. Ponselku bergetar, ada notif masuk. Aku keluar dari kafe itu dan memeriksa ponsel. Ternyata tidak ada notif masuk, yang ada hanya pembaharuan yang tidak penting. Sebentar, nama dia muncul. Kupandangi dengan lama. Ku klik namanya lalu kirimkan pesan.


“Hai, kamu apa kabar? sehat bukan ?"

@Harisyavin

Comments

Popular posts from this blog

Daya Tarik Pasar Bawah Pekanbaru

Ketika Dunia Digital Membuat Candu

Tinggal Satu